“Studi Islam Dalam Perspektif Orientalisme Dan Oksidentalisme”
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Agama
islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat, bahkan Islam sudah menjadi karir
sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan islamolog Barat dalam jumlah
yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam karena
mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi jug merupakan sumber
peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut
diperhitungkan.
Kajian
tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia
akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh tahu
atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan alat ideologis Barat untuk
melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia Timur terutama dunia Islam.
- RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian Orientalisme dan Oksidentalisme
b. Orientalisme
c. Oksidentalisme
d. Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Orientalisme dan Oksidenatalisme
Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme
dan oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia mendefinisikan
orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah
ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain
yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[1]
Sedangkan menurut Ismail Yakub, bahwa
orientalisme adalah :
“Ahli tentang soal-soal
Timur, yakni segala sesuatu megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri
Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan
lain-lain dari bangsanya dan negeri Timur.[2]
Maxime
Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir menerangkan bahwa orientalisme
mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan sekedar mengenal tetapi
mempelajari secara sistematis, profesional, dan terorganisir.[3] Adapun
orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis”berarti
ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat. [4]
Walaupun orientalisme mengandung konotasi negatif
dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam pemaparan ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang
mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada
mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk
peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan
tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas Hasan Hanfi
memberikan pemahaman oksidentalisme sebagai berikut :
“Apabila orientalisme ego
(Timur) melalui The Other (Barat), maka oksidentalisme bertujuan
mengurangi simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other,
dan dialektika antara kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada
ego dengan kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the
other.[5]
B.
Orientalisme
1.
Awal kemunculan Orientalisme
Menurut hasan, Factor yang menyebabkan
munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara
Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicillia.
Disamping juga imbas perang salib secara khusus menjadi pemacu orang – orang Eropa
melakukan pengkajian terhadap terhadap dunia islam . Dengan demikian bisa
disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang
pergulatan agama dan ideologi antara
dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang
diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di
Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat
terhadap agama Islam .Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam
menjadi pendorong mereka terhadap kebudayaan Islam.[6]
2.
Perkembangan Orientalisme
pada permulaan abad 13 hijriyah ( akhir
abad 18 Masehi ), para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan
wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan
misionaris kedapa arah penelitian ilmiah saja. Berkembanglah diberbagai kota di
eropa seperti London,Paris, Leiden dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang
mempelajari Bahasa timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu. Tujuan mereka
dari kuliah – kuliah ini tiada lain untuk memperluas kekuasaan kolonialisme
dengan cara memperalat para ahli-ahli dalam urusan tata negara islam.
Hasilnya ,banyak pelajar islam yang
terkecoh, turut menimba ilmu disana,mengikuti kuliah-kuliah di
Eropa,mendengarkan apa yang para orientalis itu sampaikan dibangku kuliah,
sehingga pada akhirnya berubah pola pikir generasi islam di Eropa terhadap
islam itu sendiri.
Kemudian para orientalis itu mampu
mengembangkan strategi dan wajah baru mereka ke area dan lembaga-lembaga keilmuan,
seperti yang telah mereka lakukan dilembaga Bahasa di Mesir, Damaskus, dan
lembaga – lembaga ilmu di Baghdad .
Sungguh, cara –cara yang menarik dan gaya
pengungkapan yang dapat memikat hati, yang menjadi ciri - ciri khas ilmu-ilmu
Islam dan pengetahuan Alqur’an serta syariat-syariatnya selama ini, boleh
dikata telah tidak atau hampir tidak ada lagi, sedang hal itu terjadi disuatu
masa dimana cara dan gaya itu selalu
mengalami pembaruan dan variasi. Sebagian juga jarang dijumpai ulama-ulama
ulung yang apat meyakinkan generasinmuda tentang keunggulan islam dan keabadian
ajaran-ajaran agama buat melayani kepentingan-kepentingan hidup, serta dapat
menyingkapkan tabir kelemahan – kelemahan peradaban Barat dengan sorotan mereka
yang ilmiah dan tajam serta analisa mereka yang teliti.[7]
Sampai sekarang telah berdiri yayasan –
yayasan keagamaan, politik,dan ekonomi di Barat yang hidup atas sokongan
bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan terhadap
kegiatan orientalisme, lahan – lahan garapan serta beasiswa-beasiswa yang
diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti
bidang orientalisme. Dan disesalkan lagi, negara –negara penjajah itupun
mendirikan yayasan dinegara-negara islam, walaupun hal tersebut sah-sah saja,
akan tetapi perlu diketahui,sesungguhnya tujuannya yang hakiki adalah demi
membantu usaha penjajahan dari para misionaris katolik dan protestan.
3.
Tujuan Orientalisme
a. Memurtadkan kaum muslim
dari agamanya sendiri,dengan cara memutus dan memecah belah jamaah mereka
kepada kelompok-kelompok kecil yang saling membenci satu sama lain.
b. Melemahkan rohani umat
islam dan menciptakan perasaan selalu kekurangan dalam jiwanya, untuk kemudian
membawa mereka kepada sikap pasrah dan tunduk kepada kehendak serta arahan
orang –orang barat.
c. Mendistorsi ajaran islam
dengan cara menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajarannya supaya masyarakat
awam menganggap bahwa islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, oleh
karenanya tidak layak untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslim.
d. Mendukung segala bentuk
penjajahan terhadap negara–negara islam dan melaksanakan segala bentuk
perlawanan terhadap islam itu sendiri.
e. Memisahkan kaum muslim dari
akar-akar kebudayaan Islam mereka yang kuat dengan cara memutarbalikkan pokok-pokok
ajarannya dan mencabutnya dari sumber-sumbernya yang asli serta menghancurkan
nilai-nila dasarnya, untuk menghancurkan keberlangsungan individu, masyarakat,
jiwa, dan akal pikiran kaum muslim.[8]
C.
Oksidentalisme
Oksidentalisme dianggap orang sebagai ilmu
tandingan bagi ilmu orientalisme. Ada juga yang memperlawankan antara keduanya.
Sebagian menganggap oksidentalisme hanya sebagai reaksi terhadap orientalisme.
Akan tetapi, kami lebih memahami keduanya sebagai pasangan, bagaikan barat
adalah pasangan timur, langit pasangan bumi, siang pasangan malam, dan
pasangan-pasanga lain disemesta ciptaan Tuhan.
Oksidentalisme adalah kebalikan
(antonim) dari istilah oreantalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme
adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek
kehidupan masyarakat Timur. kiriYang disebut Timur meliputi kawasan yang luas,
termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang
dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa,
seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara
keduanya, seperti negara-negara Arab).
Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan Hanafi seorang pemikir
dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam - islam menjabarkan pengertian
Oreantalisme, kami menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum
oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan
meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam
oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik, Timur sebagai subjek
pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. Walau istilah oksidentalisme adalah
antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme
tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi,
para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan
direbut Barat.[9]
Dalam kitab suci al-Qur’an banyak sekali dijumpai ayat yang
mengandung istilah-istilah yang berhubungan dengan oksidentalisme dan orientalisme
dan kebanyakan kedua istilah itu disebutkan beriringan atau berpasangan dalam
satu ayat dan ada juga yang tidak. Di dalam al-Qur’an mengandung banyak
sekali istilah yang bermakna “barat, timur, matahari terbenam atau terbit,
seperti al-maghrib, al-masyriah, gharbiyyah, dan syarqiyyah.
Salah satu kutipan ayat yang memberikan paham konsep barat dah timur:
“Dan
kamu akan melihat matahari ketika terbit/ thala’at condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam/ gharabat, menjauhi mereka ke
sebelah kiri, sedang mereka berada di tempat yang lapang di dalamnya. Yang
demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran kekuasaan Allah. Barang siapa yang
ditunjuki Allah, maka dia mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang
disesatkan-Nya, maka engkau tiada akan mendapatkan seseorang yang akan
membimbingnya”. (Qs. Al-Kahfi, 18:17).
Jelas sekali dengan ayat tersebut Allah memberikan bimbingan-Nya kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya dengan cara-Nya sendiri, yang manusia manapun
tidak akan sanggup berbuat serupa. Terbit dan terbenam matahari berada di
tempat yang sama yaitu gua atau kahf. Hanya keluar masuk gua itulah
timur dan barat.
Tujuan dari oksidentalisme adalah untuk menandingi orientalisme,
menghilangkan berbagai penderitaan lama yang diakibatkan orientalisme, dan
menantang serta melawan segala macam ancaman yang semakin luas diberikannya
terhadap kehidupan dunia timur. Maka tujuan utama oksidentalisme adalah
keilmuan atau intelektual. Dengan demikian, budaya barat akan dapat dipahami
secara kritis oleh dunia timur, dan juga salah paham yang selama ini yang
terjadi antar kedua belah pihak dapat dihilangkan. Menjadi tujuan
oksidentalisme juga untuk mengikis habis perasaan self isolationism yang
terdapat dikalangan masyarakat timur agar dapat berdialog dengan masyarakat
barat. Sebaliknya masyarakat barat itu sendiri harus menghilangkan mental
superioritas, sikap dominan, dan barat sentris mereka.
Sejarah munculnya oksidentalisme minimal ada dua, yaitu: pertama,A.
Mukti Ali, dalam tulisannya yang terbit tahun 1965 menyatakan,”Oksidentalisme
harus segera lahir di Indonesiaini, dan patutlah sekiranya, kalau Institut
Islam Negeri (sekarang UIN), Al-jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (Sunan
Kalijaga) menjadi ibu kandungnya” (A. Mukti Ali,1965:32). Pernyataan ini
menunjukkan bahwa sampai tahun 1965 oksidentalisme belum dikenal orang. Kedua,
James G. Carrier mengedit sekumpulan tulisan beberapa penulis, dan
menerbitkannya tahun 1995 dengan judulOccidentalism Images of the West, mengklaim
atau mengakui bahwa dialah yang pertama kali memunculkan dan memperkenalkan
istilah oksidentalisme itu kepada publik.
Beberapa
tokoh oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharuan
islam yakni :
a. Jamaluddin
al-Afghani
b. Dr. Muhammad
Abduh
c. Dr. Muhammad Imarah
d. Dr. Hasan Hanafi
D. Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang
sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Dimana
menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu
teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua
yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat
berakar dalam beberapa disiplin traditional. Pertama, adalah mereka yang
berakar pada disiplin humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat,
literature dan sejarah. Kedua, yang berakar pada disiplin teologi, seperti
sejarah kitab suci dam sejarah institusi-institusi agama. Ketiga, yang berakar
pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan psikologi. Dan
Keempat, yang berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi salah satu titik
tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur Tengah, Asia
Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai“tradisi keagamaan yang
hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”, yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan pertumbuhan
kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika
Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan
di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A.R. Gibb.[11]
Pada
umumnya orientalis membahas Islam dengan
pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu.
Misalnya dengan pendakatan historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut
memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah
Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan
semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan
bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih
lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa
terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang
dilakukan oleh orientalis. Pertama,kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan
di Barat cenderung bersifat“esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena
masyarakat dan kebudayaan muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah.
Dengan kata lain berlaku pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya,
terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah,
dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat
lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh
kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan
distortif tentang Islam dan masyarakat muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang
Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang
dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya,
menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah
tertentu dikalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan
kategori-kategori Islam sendiri.[12]
Kajian
tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia
akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau
bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk
melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia
Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat Islam bahwa apapun yang
dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai
Lebih
dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil
program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika
kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau
terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap
tidak netral, maka banyak akademisi barat yang mendalami Islam dan bergerak di
dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamist, bukannya orientalist.
Lebih
lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan
Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur
Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih “setia” dan
mempunyai“komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah
menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal, dan bahkan
cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?
D. Analisis
Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada
mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk
peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan
tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme
E. Implikasi
Dengan adanya orientalisme dan
oksidentalisme itu mengajarkan kita bagaimana kita berfikir kedepan dan kita
dituntut untuk membentengi diri dari segala pengaruh bangsa barat yang bisa
dikatakan mereka adalah orang orang yang licik. Yang ingin menghancurkan agama
islam dengan cara-cara mereka sendiri
KESIMPULAN
orientalisme mengandung konotasi negatif
dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam pemaparan ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang
mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam.Oksidentalisme
lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih
bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan
tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan
dengan orientalisme.
pada permulaan abad 13 hijriyah ( akhir abad 18 Masehi ), para
orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah baru orientalisme,
yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan misionaris kedapa arah
penelitian ilmiah saja. Berkembanglah diberbagai kota di eropa seperti
London,Paris, Leiden dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari Bahasa
timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu.
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk
cara pandang sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat
terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam
mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan
tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para
pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin traditional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rauf M.
el-Badawiy , Dr . Hasan dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan
Missionarisme menelikung pola pikir umat islam, Bandung :
Rosda, 2008.
Azra ,
Asyumardi, Prof. Dr.., Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta . 1999
Bassam Tibi,
terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, Yogyakarta
: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994
Hanafi , Dr. Hasan, Muqaddimah fi’ilm Istihrab,
alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi
Barat, Jakarta
: Paramadina, , 2000.
Mahmud, M.A., Dr. Muh. Natsir , Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif). Semarang : Dina Utama
(DIMAS), t.t.,
Yakub, H. Ismail
, Orientalisme dan Orientalisten,
, Surabaya : CV.
Faiza, t.t.,.
[1] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t., hal. 36.
[2] H. Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, CV.
Faiza, Surabaya ,
t.t., hal. 17.
[3] Dr. Muh. Natsir Mahmud, op.cit., hal. 38.
[4] Bassam
Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara
Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 35.
[5] Dr. Hasan Hanafi, Muqaddimah
fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta ,
2000, hal. 26.
[6] Dr . Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy dan
Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Missionarisme menelikung pola pikir
umat islam, Rosda, Bandung ,
2008, hal. 5.
[7] Abul Hasan Ali Al-Husni An Nadwi,Pertarungan
antara alam pikiran Islam dengan Alam pikiran Barat,Al Ma’arif , Bandung , Hal .188.
[8] Dr . Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy dan
Dr. Abdurrahman Ghirah, op.cit., 18-19
Diakses pada
hari Rabu 23 Maret 2016 jam 10.00 wib.
[11] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo
Wacana Ilmu, Jakarta ,
1999, Hlm 230
[12] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Op.cit., hal. 236-237.
makalah yang bermanfaat. izin membaca dan mengutip sebagian.
BalasHapus