“Studi Islam Dalam Perspektif Orientalisme Dan Oksidentalisme”

PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG

            Agama islam telah menjadi obyek studi sarjana Barat, bahkan Islam sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan orientalisis dan islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam karena mereka memandang Islam bukan sekedar agama tetapi jug merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang patut diperhitungkan.
Kajian tentan orintalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh tahu atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru di dunia Timur terutama dunia Islam.


  1. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian Orientalisme dan Oksidentalisme
b. Orientalisme
c. Oksidentalisme
d. Pengaruhnya Terhadap Studi Islam

 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Orientalisme dan Oksidenatalisme
            Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme dan oksidentalisme, diantaranya menurut Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., ia mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.[1]
       Sedangkan menurut Ismail Yakub, bahwa orientalisme adalah :
“Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu megenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangsanya dan negeri Timur.[2]
Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir menerangkan bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam, “mempelajari” bukan sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis, profesional, dan terorganisir.[3] Adapun orientalisme, dengan menambahkan “isme” dibelakang kata “orientalis”berarti ajaran atau paham tentang dunia Timur yang dibentuk oleh opini Barat. [4]
       Walaupun orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam pemaparan ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam
       Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme. Secara lebih jelas Hasan Hanfi memberikan pemahaman oksidentalisme sebagai berikut :
“Apabila orientalisme ego (Timur) melalui The Other (Barat), maka oksidentalisme bertujuan mengurangi simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferoritas (Murikab al-Naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (Murokab al Uzhma) pada pihak the other.[5]

B.        Orientalisme
1.        Awal kemunculan Orientalisme
       Menurut hasan, Factor yang menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicillia. Disamping juga imbas perang salib secara khusus menjadi pemacu orang – orang Eropa melakukan pengkajian terhadap terhadap dunia islam . Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan agama dan  ideologi antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat terhadap agama Islam .Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka terhadap kebudayaan Islam.[6]
2.        Perkembangan Orientalisme
       pada permulaan abad 13 hijriyah ( akhir abad 18 Masehi ), para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan misionaris kedapa arah penelitian ilmiah saja. Berkembanglah diberbagai kota di eropa seperti London,Paris, Leiden dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari Bahasa timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu. Tujuan mereka dari kuliah – kuliah ini tiada lain untuk memperluas kekuasaan kolonialisme dengan cara memperalat para ahli-ahli dalam urusan tata negara islam.
       Hasilnya ,banyak pelajar islam yang terkecoh, turut menimba ilmu disana,mengikuti kuliah-kuliah di Eropa,mendengarkan apa yang para orientalis itu sampaikan dibangku kuliah, sehingga pada akhirnya berubah pola pikir generasi islam di Eropa terhadap islam itu sendiri.
       Kemudian para orientalis itu mampu mengembangkan strategi dan wajah baru mereka ke area dan lembaga-lembaga keilmuan, seperti yang telah mereka lakukan dilembaga Bahasa di Mesir, Damaskus, dan lembaga – lembaga ilmu di Baghdad.
       Sungguh, cara –cara yang menarik dan gaya pengungkapan yang dapat memikat hati, yang menjadi ciri - ciri khas ilmu-ilmu Islam dan pengetahuan Alqur’an serta syariat-syariatnya selama ini, boleh dikata telah tidak atau hampir tidak ada lagi, sedang hal itu terjadi disuatu masa  dimana cara dan gaya itu selalu mengalami pembaruan dan variasi. Sebagian juga jarang dijumpai ulama-ulama ulung yang apat meyakinkan generasinmuda tentang keunggulan islam dan keabadian ajaran-ajaran agama buat melayani kepentingan-kepentingan hidup, serta dapat menyingkapkan tabir kelemahan – kelemahan peradaban Barat dengan sorotan mereka yang ilmiah dan tajam serta analisa mereka yang teliti.[7]
       Sampai sekarang telah berdiri yayasan – yayasan keagamaan, politik,dan ekonomi di Barat yang hidup atas sokongan bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan terhadap kegiatan orientalisme, lahan – lahan garapan serta beasiswa-beasiswa yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti bidang orientalisme. Dan disesalkan lagi, negara –negara penjajah itupun mendirikan yayasan dinegara-negara islam, walaupun hal tersebut sah-sah saja, akan tetapi perlu diketahui,sesungguhnya tujuannya yang hakiki adalah demi membantu usaha penjajahan dari para misionaris katolik dan protestan.
3.        Tujuan Orientalisme
a.       Memurtadkan kaum muslim dari agamanya sendiri,dengan cara memutus dan memecah belah jamaah mereka kepada kelompok-kelompok kecil yang saling membenci satu sama lain.
b.      Melemahkan rohani umat islam dan menciptakan perasaan selalu kekurangan dalam jiwanya, untuk kemudian membawa mereka kepada sikap pasrah dan tunduk kepada kehendak serta arahan orang –orang barat.
c.       Mendistorsi ajaran islam dengan cara menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajarannya supaya masyarakat awam menganggap bahwa islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, oleh karenanya tidak layak untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslim.
d.      Mendukung segala bentuk penjajahan terhadap negara–negara islam dan melaksanakan segala bentuk perlawanan terhadap islam itu sendiri.
e.       Memisahkan kaum muslim dari akar-akar kebudayaan Islam mereka yang kuat dengan cara memutarbalikkan pokok-pokok ajarannya dan mencabutnya dari sumber-sumbernya yang asli serta menghancurkan nilai-nila dasarnya, untuk menghancurkan keberlangsungan individu, masyarakat, jiwa, dan akal pikiran kaum muslim.[8]

C.          Oksidentalisme
          Oksidentalisme dianggap orang sebagai ilmu tandingan bagi ilmu orientalisme. Ada juga yang memperlawankan antara keduanya. Sebagian menganggap oksidentalisme hanya sebagai reaksi terhadap orientalisme. Akan tetapi, kami lebih memahami keduanya sebagai pasangan, bagaikan barat adalah pasangan timur, langit pasangan bumi, siang pasangan malam, dan pasangan-pasanga lain disemesta ciptaan Tuhan.
          Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah oreantalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur. kiriYang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).
Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan Hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam - islam menjabarkan pengertian Oreantalisme, kami menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik, Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian. Walau istilah oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi, para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.[9]
Dalam kitab suci al-Qur’an banyak sekali dijumpai ayat yang mengandung istilah-istilah yang berhubungan dengan oksidentalisme dan orientalisme dan kebanyakan kedua istilah itu disebutkan beriringan atau berpasangan dalam satu ayat dan ada juga yang tidak. Di dalam al-Qur’an mengandung banyak sekali istilah yang bermakna “barat, timur, matahari terbenam atau terbit, seperti al-maghrib, al-masyriah, gharbiyyah, dan syarqiyyah. Salah satu kutipan ayat yang memberikan paham konsep barat dah timur:
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit/ thala’at condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan apabila matahari itu terbenam/ gharabat, menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada di tempat yang lapang di dalamnya. Yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran kekuasaan Allah. Barang siapa yang ditunjuki Allah, maka dia mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka engkau tiada akan mendapatkan seseorang yang akan membimbingnya”. (Qs. Al-Kahfi, 18:17).
Jelas sekali dengan ayat tersebut Allah memberikan bimbingan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dengan cara-Nya sendiri, yang manusia manapun tidak akan sanggup berbuat serupa. Terbit dan terbenam matahari berada di tempat yang sama yaitu gua atau kahf. Hanya keluar masuk gua itulah timur dan barat.
Tujuan dari oksidentalisme adalah untuk menandingi orientalisme, menghilangkan berbagai penderitaan lama yang diakibatkan orientalisme, dan menantang serta melawan segala macam ancaman yang semakin luas diberikannya terhadap kehidupan dunia timur. Maka tujuan utama oksidentalisme adalah keilmuan atau intelektual. Dengan demikian, budaya barat akan dapat dipahami secara kritis oleh dunia timur, dan juga salah paham yang selama ini yang terjadi antar kedua belah pihak dapat dihilangkan. Menjadi tujuan oksidentalisme juga untuk mengikis habis perasaan self isolationism yang terdapat dikalangan masyarakat timur agar dapat berdialog dengan masyarakat barat. Sebaliknya masyarakat barat itu sendiri harus menghilangkan mental superioritas, sikap dominan, dan barat sentris mereka.
Sejarah munculnya oksidentalisme minimal ada dua, yaitu: pertama,A. Mukti Ali, dalam tulisannya yang terbit tahun 1965 menyatakan,”Oksidentalisme harus segera lahir di Indonesiaini, dan patutlah sekiranya, kalau Institut Islam Negeri (sekarang UIN), Al-jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (Sunan Kalijaga) menjadi ibu kandungnya” (A. Mukti Ali,1965:32). Pernyataan ini menunjukkan bahwa sampai tahun 1965 oksidentalisme belum dikenal orang. Kedua, James G. Carrier mengedit sekumpulan tulisan beberapa penulis, dan menerbitkannya tahun 1995 dengan judulOccidentalism Images of the West, mengklaim atau mengakui bahwa dialah yang pertama kali memunculkan dan memperkenalkan istilah oksidentalisme itu kepada publik.
Beberapa tokoh oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharuan islam yakni  :
a.       Jamaluddin al-Afghani
b.      Dr. Muhammad Abduh
c.       Dr. Muhammad Imarah
d.      Dr. Hasan Hanafi
e.       Nurcholish Madjid.M.A, Dan masih banyak lainnya.[10]

D. Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin traditional. Pertama, adalah mereka yang berakar pada disiplin humaniora traditional, yang mencakup filologi, filsafat, literature dan sejarah. Kedua, yang berakar pada disiplin teologi, seperti sejarah kitab suci dam sejarah institusi-institusi agama. Ketiga, yang berakar pada ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi, linguistic dan psikologi. Dan Keempat, yang berakar pada studi-studi kawasan yang menjadi salah satu titik tolak “orientalisme” yakni “dunia Timur” (khususnya kajian Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara).
Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai“tradisi keagamaan yang hidup”. Yang historis, ketimbang “kumpulan tatanan doktrin”, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, menemukan momentum kuat dan pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini pertamakali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A.R. Gibb.[11]
Pada umumnya orientalis membahas Islam    dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu. Misalnya dengan pendakatan historis, sosiologis, psikologis dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan kontribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu.
Lebih lanjut, mengenai studi di Barat, Asyumardi Azra juga menganalisis bahwa terdapat beberapa hal yang harus menjadi bahan pertimbangan terhadap studi yang dilakukan oleh orientalis. Pertama,kajian-kajian tentang Islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat“esensialis” yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan muslim dalam rangka konsep tunggal dan tidak berubah. Dengan kata lain berlaku pada masyarakat dan kebudayaan Islam. Contohnya, terdapatnya radikalisme kelompok-kelompok muslim tertentu di Timur Tengah, dipandang sebagai berlaku dan absah juga dalam masyarakat muslim di tempat lain. Kedua, kajian-kajian tentang Islam di Barat dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis, dengan menciptakan citra yang tidak benar dan distortif tentang Islam dan masyarakat muslim. Ketiga, kajian-kajian tentang Islam di Barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran-kebenaran” yang dicapai atas nama Muhammad Abdul Rauf, sarjana-sarjana barat misalnya, menggunakan kategori-kategori Marxis untuk menjelaskan perkembangan sejarah tertentu dikalangan kaum muslim, seraya menolak dan mengabaikan kategori-kategori Islam sendiri.[12]
Kajian tentang orientalis sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh atau bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperalisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini telah menimbulkan stigma dikalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai
Lebih dari itu, beberapa sarjana alumni IAIN yang mempeorleh kesempatan mengambil program lanjutan di perguruan tinggi Barat dan bidang Islamic Studies ketika kembali ke tanah air seringkali dicurigai sebagai telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh pemikiran orientalis. Karena citra orientalis yang dianggap tidak netral, maka banyak akademisi barat yang mendalami Islam dan bergerak di dunia kampus lebih senang disebut sebagai Islamist, bukannya orientalist.
Lebih lanjut yang menjadi persoalan lagi adalah bagaimana dengan sarjana tamatan Timur Tengah?. Dimana sarjana-sarjana muslim khususnya Indonesia tamatan Timur Tengah sering dipandang secara beragam sebagai lebih “setia” dan mempunyai“komitmen” yang tinggi terhadap Islam. Sehingga tamatan Timur Tengah menggunakan pendekatan normatif dalam berpikir dan tidak liberal, dan bahkan cenderung menjadi fundamentalis, benarkah kesar seperti itu?




D.    Analisis
          Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme
E.     Implikasi
          Dengan adanya orientalisme dan oksidentalisme itu mengajarkan kita bagaimana kita berfikir kedepan dan kita dituntut untuk membentengi diri dari segala pengaruh bangsa barat yang bisa dikatakan mereka adalah orang orang yang licik. Yang ingin menghancurkan agama islam dengan cara-cara mereka sendiri

KESIMPULAN
       orientalisme mengandung konotasi negatif dikalangan para penulis Timur, tetapi dalam pemaparan ini menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam.Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani, pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada sebuah produk peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan orientalisme.
       pada permulaan abad 13 hijriyah ( akhir abad 18 Masehi ), para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan misionaris kedapa arah penelitian ilmiah saja. Berkembanglah diberbagai kota di eropa seperti London,Paris, Leiden dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari Bahasa timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu.
       Studi Islam di Barat, sulit dipungkiri turut membentuk cara pandang sarjana-sarjana muslim tamatan universitas-universitas Barat terhadap Islam. Dimana menurut Azyumardi Azra bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji Islam, yaitu teologis dan sejarah agama-agama. Dari dua pendekatan tersebut pendekatan kedua yakni sejarah agamalah yang dominan dipakai oleh para pengkaji Islam di Barat berakar dalam beberapa disiplin traditional.

DAFTAR PUSTAKA

                        
Abdul Rauf M. el-Badawiy ,  Dr . Hasan dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Missionarisme menelikung pola pikir umat islam, Bandung :  Rosda, 2008.

Azra , Asyumardi, Prof. Dr.., Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta. 1999

Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994

Hanafi  , Dr. Hasan, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta :  Paramadina, , 2000.

Mahmud, M.A., Dr. Muh. Natsir , Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif).  Semarang : Dina Utama (DIMAS), t.t.,

Yakub, H. Ismail  , Orientalisme dan Orientalisten, , Surabaya : CV. Faiza, t.t.,.



[1] Dr. Muh. Natsir Mahmud, M.A., Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t., hal. 36.
[2] H. Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, CV. Faiza, Surabaya, t.t., hal. 17.
[3] Dr. Muh. Natsir Mahmud, op.cit., hal. 38.
[4] Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1994, hal. 35.

[5] Dr. Hasan Hanafi, Muqaddimah fi’ilm Istihrab, alih bahasa M. Najib Buchori, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Paramadina, Jakarta, 2000, hal. 26.
[6] Dr . Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Missionarisme menelikung pola pikir umat islam, Rosda, Bandung, 2008, hal. 5.
[7] Abul Hasan Ali Al-Husni An Nadwi,Pertarungan antara alam pikiran Islam dengan Alam pikiran Barat,Al Ma’arif , Bandung , Hal .188.
[8] Dr . Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy dan Dr. Abdurrahman Ghirah, op.cit., 18-19
[11] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logo Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, Hlm 230
[12] Prof. Dr. Azyumardi Azra, Op.cit., hal. 236-237.

Komentar

  1. makalah yang bermanfaat. izin membaca dan mengutip sebagian.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP DASAR ETIKA PROFESI KEGURUAN

UAS WASATHIYAH ISLAM 2024

SOAL UAS PERENCANAAN PEMBELAJARAN PAI 2017 Dr. H.M Nursikin