Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan Implementasinya
Dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam
Oleh:
Dr. H. Mukh
Nursikin., M.SI
(Dosen Pasca
Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Abstrak
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni
menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas
dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik
di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Dalam proses pendidikan
aliran-aliran filsafat progresivisme konstruktivisme dan humanisme menghendaki
agar peserta didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif dan
komprehensif mengembangkan pengetahuan dan potensinya, bukan hanya
menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama siswa. Dalam pengembangan kurikulumpendidikan progresivisme menghendaki kurikulum yang bersifat luwes dan terbuka.
Kurikulum dapat dirubah dan dibentuk, dikembangkan sesuai dengan perkembangan
zaman dan Iptek, konstruktifisme dalam pegembangan kurikulum Pendidikan yang berorientasi pada kompetensi menuntut praktik pembelajaran yang
konstruktif, bermakna (fungsional) bagi peserta didik, berpusat pada siswa,
mementingkan segala kecakapan hidup, mementingkan kemampuan riil yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup secara nyata, dalam bentuk untuk
kerja sesungguhnya, dengan penilaian otentik yang memanfaatkan berbagai cara
penilaian, mementingkan proses dan hasil, Dalam konteks humanisme, pengembangan kurikulum lebih menekankan pada
pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai tingkat
pertumbuhan dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan pengembangan
kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didikguru harus
mendorong peserta didiknya untuk mencapai keberhasilan dan prestasi yang
tinggi, serta memberikan penghargaan atas prestasi yang tinggi, memberikan
penghargaan atas prestasi yang mereka capai, betapapun kecilnya, baik berupa
ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-verbal.
Kata
kunci: progresivisme, konstruktivisme,
humanisme, kurikulum pendidikan
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam memiliki peran yang
sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi
antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan
pendidikan Nasional. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan
serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi
tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan dan
bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban
filosofis.
Walaupun dewasa ini
pendidikan Islam sering mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Diantara
kritikan tersebut adalah bahwa pendidikan Islam di Indonesia belum menemukan
sebuah paradigma dan cetak biru (blue
print) yang sustainable, baik dalam tataran teoritis-filosofis maupun
operasionalnya, sehingga terkesan pendidikan hanya sebagai ajang percobaan (trial and error). Oleh karenya wajar
jika muncul sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya pendidikan Islam
di Indonesia tidak mewujud secara faktual. Pendapat seperti itu kiranya cukup
beralasan karena penampilan pendidikan itu sendiri yang masih abstrak belum
menyentuh realitas budaya masyarakat Indonesia.
Pendidikan seringkali dilihat sebagai sesuatu
yang pragmatis, bukan sebagai sesuatu yang hidup. Akibatnya, praktik pendidikan
khususnya di lingkungan formal seperti sekolah berjalan tidak memperhatikan
potensi dan sisi kemanusiaan dari peserta didiknya. Contoh, tidak boleh masuk
sekolah karena tidak membayar SPP, tidak memakai pakaian seragam, dimarahi dan dihukum
karena terlambat atau membolos, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, diskors atau
bahkan dikeluarkan dari sekolah. Praktik pengajaran seperti ini jika dilihat
dalam perspektif humanisme sangat bertentangan dengan hak-hak sebagai manusia.
Dan secara tidak langsung, telah memasung potensi dan kreativitas anak untuk
berkembang. Tentu praktik pendidikan seperti ini tidak sejalan dengan tujuan
pendidikan itu sendiri.
Dalam proses pendidikan aliran-aliran
filsafat yaitu progresivisme konstruktivisme, dan humanisme menghendaki agar peserta
didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif dan komprehensif untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. peserta
didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan
petunjuk dari guru atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan peserta didik
membantu untuk berdiri sendiri dalam kehidupan, aliran-aliran filsafat ini
mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif dan juga mengembangkan
potensinya.
Sedangkan penerapan dalam proses
belajar mengajar yang berakiatan dengan kurikulum pendidikan aliran-aliran
filsafat konstruktivisme, progresivisme dan humanisme memberikan keleluasaan
pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah
mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan
tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu
berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu yang
berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud dengan aliran-aliran filsafat
yaitu progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme, dan bagaimana implikasinya
dalam model pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Hal tersebut sangat perlu
dibahas bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran-aliran
filsafat konstruktivisme, progresivisme dan humanisme dan bagaimana bagaimana implikasinya
dalam model pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Dengan pemahaman yang
cukup mengenai hal tersebut di atas, maka setiap individu akan mendapatkan hasil
pembelajaran yang komprehensif dan optimal.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah jenis penelitian kualitatif. Pertimbangan pemilihan jenis penelitian
kualitatif berdasarkan pada karakteristik penelitian kualitatif, yakni (1) dilakukan
pada kondisi alamiah, langsung kepada sumber data peneliti sebagai instrumen
kunci, (2) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, (3) penelitian kualitatif
lebih menekankan pada proses di samping produk (out come), (4) penelitian kualitatif melakukan analisa secara
induktif dan (5) penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna.
B.
Pembahasan.
1. Pengertian
Filsafat Pendidikan
Filsafat
merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Istilah Filsafat sendiri
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi sematik dan segi praktis. Dalam segi
sematik, filsafat berasal dari bahasa Arah yaitu “Falsafah” dan berasal dari
bahasa Yunani yaitu “Philosophia”,
philos=cinta, suka dan shopia = pengetahuan, hikmah. Sehingga arti philosophia menjadi cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Sedangkan dari segi praktis,
filsafat dapat diartikan sebagai alam pikiran/berpikir. Berfilsafat berarti
berpikir, namun tidak setiap berpikir merupakan filsafat, berfilsafat harus
berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh terhadap obyek yang dipikirkan
(Liza, 2006).
Filsafat pendidikan merupakan
aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan
filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan
pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas,
lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun
fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains
pendidikan.
2. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan dan implementasinya
dalam model pengembangan kurikulum pendidikan islam
a.
Aliran Progressivisme
Dalam pandangan Progressivisme,
manusia harus selalu maju (progress)
bertindak konstruktif, inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia
mempunyai naluri selalu menginginkan
perubahan-perubahan. Menurut Imam Barnadib, Progresivisme
menghendaki pendidikan yang progresif (maju),
semua itu dilakukan oleh pendidikan agar manusia dapat mengalami kemajuan (Progress), sehingga orang akan
bertindak dengan intelegensinya sesuai dengan tuntutan dan lingkungan. (Imam Barnadib,
2000)
Aliran Progresivisme didirikan pada tahun 1918, muncul dan berkembang
pada permulaan abad XX di Amerika Serikat.
Aliran Progresivisme lahir sebagai pembaharu dalam dunia filsafat
pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijakan-kebijakan konvensional
yang diwarisi dari abad XIX. Pencetus
Aliran filsafat Progresivisme yang populer
adalah Jhon Dewey. Aliran filsafat Progresivisme bermuara pada aliran
filsafat pragmativisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan
Jhon dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada manfaat praktis. Dalam banyak
hal, Progresivisme identik dengan pragmativisme. Filsafat Progresivisme
dipengaruhi oleh ide-ide filsafat pragmativisme yang telah memberikan
konsep-konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa manusia bisa survive
menghadapi semua tangtangan hidup, manusia harus pragmatis dalam memandang
kehidupan. (Ali H, 2001).
Aliran ini memandang bahwa peserta didik yang
berkaitan dengan akal dan kecerdasan, hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa
manusia mempunyai kelebihan apabila dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia
memiliki sifat dinamis dan kreatif didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Oleh karena itu Aliran Progresivisme ini
menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat
dan martabat manusia sebagai pelaku hidup. (Imam Barnadib,
2000)
Dalam dunia pendidikan
Progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar, aliran ini telah
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada peserta didik. Peserta didik diberikan kebebasan baik secara
fisik maupun cara berpikir, untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang
terpendam dalam diri peserta didik tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat
oleh orang lain. Oleh karena itu Progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang
bersifat otoriter.
Kurikulum
sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian
mata pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan di
Sekolah tetapi sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas Oleh karenanya
banyak pakar memaknai kurikulum dengan titik tekan yang berbeda. Ambil contoh
Hirts dan Petters menekankan pada aspek funsional yakni kurikulum diposisikan
sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan
Musgave menekankan pada ruang lingkup pengalaman belajar yang meliputi
pengalaman di luar amaupun di dalam sekolah. Pendapat Musgave ini seirama
dengan pendapat Romine Stephen yang mengatakan bahwa kurikulum mencakup segala
materi pelajaran, aktivitas dan pengalaman anak didik, di mana ia berada dalam
control lembaga pendidikan, baik yang terjadi di luar atau pun di dalam kelas.
Dalam bidang kurikulum Progresivisme menghendaki kurikulum yang bersifat
luwes dan terbuka. Kurikulum dapat dirubah dan dibentuk, dikembangkan sesuai
dengan perkembangan zaman dan Iptek. Hal ini sejalan dengan kenyataan sejarah
yang menunjukkan adanya perkembangan dan perubahan kurikulum di Indonesia, yang
dimulai dari Rencana Pembelajaran pada tahun 1947, Kurikulum tahun 1975,
Kurikulum tahun 1984, kurikulum tahun 1994, kurikulum tahun 2004 (KBK) dan
Kurikulum 2006 (KTSP) dan kurikulum tahun 2013 yang belum dilaksanakan menyeluruh karena masih banyak problem dan
kajian yang mendalam terlebih dalam masalah evaluasi dan lainya.
Dalam kurikulum pendidikan aliran
Progresivisme ini menghendaki lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang
bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait dengan doktrin-doktrin
tertentu, bersifat terbuka, memilki relevansi dengan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum pendidikan. Salah satu dari prinsip pengembangan
kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni berkembang secara dinamis.
(Sutrisno, 2012)
Dalam konteks model pengembangan kurikulum
pendidikan, terdapat
komponen-komponen yang saling terkait secara sistemik, yakni komponen
kompetensi, materi, metode dan juga evaluasi yang dapat
diformulasikan seperti bagan berikut;
Kompetensi - Materi - Metode - Evaluasi
Gambar 1
Komponen Model Pengembangan Kurikulum pendidikan
Materi pelajaran memerlukan metode, tehnik, dan strategi pembelajaran,
untuk mencapai kompetensi. Strategi pembelajaran berkaitan dengan upaya yang
harus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Strategi
pembelajaran sangat tergantung pada tujuan dan materi kurikulum. Untuk
mengetahui keberhasilan pembelajaran sangat diperlukan evaluasi. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektifitas
pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam konteks kurikulum evaluasi dapat
berfungsi untuk mengetahui pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan dapat
pula digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang telah
ditetapkan, sehingga tujuan dari pendidikan benar-benar tercapai sebagaimana
yang telah ditentukan.
Dari
berbagai pandangan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pengembangan
kurikulum pendidikan progresivisme menekankan pada how to think (bagaimana berpikir), how to do (bagaimana bekerja), bukan
what to think dan what to do artinya lebih menekankan dan mengutamakan
metode dari pada materi. Tujuannya adalah memberikan individu kemampuan yang
memungkinkannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang selalu
berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi kurikulum yang disusun berdasar
landasan filosofi progresivisme akan dapat menyesuaikan situasi dan kondisi,
luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta familier terhadap masa
kini. Progresivisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk memahami masa kini
dan masa kini sebagai landasan bagi masa yang akan datang.
b. Aliran Konstruktivisme
Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor Konstruktivisme adalah Jean Piaget. Jean
Piaget, adalah seorang psikolog kelahiran Nauchatel Swiss pada tanggal 9
agustus 1896 di Swiss. Ayahnya, Athur Piaget, adalah seorang Profesor
sastra Abad Pertengahan. Tahun 1918 Jean
Piaget mengambil program Doktor dalam bidang ilmu pengetahuan alam di Universitas
Neuchatel. Pada tahun 1921 Jean Piaget menjadi guru besar dalam Psikologi dan
Filsafat Ilmu. Tahun 1955 mendirikan International Center of Genetic
Epistimology, yaitu studi tentang bagaimana seorang anak memperoleh dan
memodifikasi ide-ide abstrak seperti ruang, waktu, gaya dan lainnya. Teori ini
yang sangat dikenal dengan teori perkembangan mental. Selama hidupnya Jean
Piaget telah menulis lebih dari 60 buku dan ratusan artikel. Piaget meninggal
di Janewa Swiss pada tanggal 16 September 1980. (Von Glaserfeld,
1997)
Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam bidang
pendidikan dikenal dengan nama kontruktivisme
kognitif atau personal contructivisme.
Jean Piaget menyakini bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Aliran konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan
bahwa pengetahuan adalah kontruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu
tiruan dari kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Seseorang dapat membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap kali akan
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. (Suparno, 2000)
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif tersendiri yang
kemudian dinamakan skema (schema).
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang memungkinkan seseorang
secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema
adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti
intelektual, kreativitas, kemampuan dan naluri. Skema dapat terbentuk karena pengalaman,
proses penyempurnaan skema melalui proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah mengintegrasikan persepsi, konsep, atau
pengalaman baru ke dalam suatu pola yang sudah ada dalam pikiran, atau
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah membentuk
skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru, atau menyusun kembali struktur
pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai
tempat. Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa (Pannen dkk,
2001)
Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana
peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri
makna yang dipelajari. Hal ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide
baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus
punya pengalaman dengan membuat hipotesis, memecahkan persoalan, mencari
jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruktif yang baru.
Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal,
akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari
proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
“pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan
makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu. (Jhon Wiles dan A. Djaja Janjuri, 2008)
Teori konstruktivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar, siswa
yang harus mendapat penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan
pengetahuan, bukan guru atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa
membantu siswa menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena siswa
berpikir dan bukan meniru saja. Mengajar dalam pandangan konstruktivisme
bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada orang
yang belum tahu (siswa), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomena dan objek yang ingin
diketahui. Oleh karena itu menurut prinsip konstruktivisme guru berperan
sebagai mediator dan fasilisator yang membantu agar proses belajar murid berjalan
dengan baik. Pendekatan ada pada siswa yang belajar, dan bukan pada guru yang
mengajar. Penekanan pada siswa ini yang belakangan melahirkan konsep learning centered yaitu pembelajaran
yang berpusat pada siswa. Tugas guru dalam proses ini adalah merangsang
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan
konsepnya.
Menurut Peodjiadi implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori
belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persolan yang dihadapi, (2)
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan ketrampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya (Poedjiadi, 2011).
Prinsip-prinsip yang sering diadopsi dari konstruktivisme antara lain:
(1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri secara aktif, (2) tekanan dalam
proses belajar terletak pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa belajar,
(4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil, (5)
kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan (6) guru adalah fasilisator.
Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar
mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru,
dan untuk mengevaluasi praktek belajar mengajar (Pannen dkk, 2001)
Pegembangan Kurikulum Pendidikan merupakan kurikulum yang
berorientasi pada standar kompetensi. Kurikulum yang berorientasi pada
kompetensi menuntut praktik pembelajaran yang konstruktif, bermakna
(fungsional) bagi peserta didik, berpusat pada siswa, mementingkan segala
kecakapan hidup, mementingkan kemampuan riil yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, dan perilaku hidup secara nyata, dalam bentuk untuk kerja sesungguhnya,
dengan penilaian otentik yang memanfaatkan berbagai cara penilaian,
mementingkan proses dan hasil (Sa’dun
Akbar & Hadi Sriwijaya,
2010)
Salah satu prinsip dalam pelaksanaan model
pengembangan kurikulum
pendidikan yaitu didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi dalam
dirinya. Oleh karena itu peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan
yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara
bebas, dinamis dan menyenangkan. Prinsip ini merupakan bagian spirit
konstruktivisme yang lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman siswa. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilisator, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan
pada diri peserta didik.
Implikasi konstruktivisme terhadap pengembangan kurikulum pendidikan islam yang
berkaitan dengan pembealajaran, berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal
dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut (1) Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa
pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan
terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara
langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu.
Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi
struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses
pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan
pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk
dijadikan objek pemaknaan. (2) Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan
dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah
dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas
personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik
dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta
didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat
merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk
pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari
pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah
dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara
pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge. (Jhon
Wiles dan A. Djaja Janjuri, 2008)
Bagi kaum konstruktivis, belajar
adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan
secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar
bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri.
Konstruktivisme dalam pembelajaran
mempengaruhi dari pembentukan kurikulum, perencanaan, pelaksanaan, penilaian
hingga evaluasi pembelajaran. Konstruktivisme sangat menitik beratkan tentang
apa, dan bagaimana peserta didik mengetahui pengetahuan. Peserta didik akan melakukan
rekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah mendapatkan pengetahuan baru yang
merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya. Selain mementingkan proses,
konstruktivisme juga mementingkan hasil yang di dapatkan oleh peserta didik.
c.
Aliran Humanistik
Aliran humanistik muncul pada pertengahan abad 20 sebagai
reaksi teori psikodinamika dan
behavioristik. Teori Psikodinamika yang dipelopori oleh Sigmund
Freud (1856-1939) yang berupaya menjelakan hakekat dan perkembangan tingkah
laku kepribadian. Model Psikodinamika yang di ajukan Freud disebut dengan Teori
Psikoanalisis (analytic theory).
Menurut teori ini tingkah laku manusia
merupakan hasil tenaga yang beroperasi didalam pikiran yang sering tanpa
disadari oleh individu. Freud menyakini bahwa tingkah laku manusia lebih
ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologi yang tidak disadarinya.
Tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis,
naluri irasional (terutama naluri menyerang dan naluri sex) yang sudah ada
sejak awal setiap individu. Sedangkan behavioristik merupakan aliran dalam
pemahaman tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh Jhon B. Watson
(1878-1959). Perspektif behavioristik berfokus pada peran dari belajar dalam
menjelaskan tingah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku manusia
menurut teori ini, bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya ditentukan oleh
aturan-aturan, bisa diramalkan, dan juga bisa dikendalikan (Desminta, 2010).
Salah satu tokoh aliran
humanistik terkenal adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970). Maslow dikenal
sebagai pelopor aliran psikologi humanistic. Maslow percaya bahwa manusia
tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang
sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Need (Hirarki Kebutuhan).
Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai
teori hirarki kebutuhan (Paulo Freire,
2008)
Dalam teori hirarki kebutuhan, Maslow menyebutkan ada lima jenis
kebutuhan dasar manusia secara berjenjang dan bertingkat mulai dari yang paling
rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Pada tingkat paling bawah terletak kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs), tingkat kedua
terdapat kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (need for self-security and security), tingkat ketiga mencerminkan
kebutuhan yang digolongkan dalam kelompok kasih sayang (need for love and belongingness), tingkat keempat mencerminkan
kebutuhan atas penghargaan diri (need for
self-system), sedangkan tingkat kelima adalah kebutuhan aktualisasi diri (need for self-actualization) (Desminta, 2010).
Kebutuhan-kebutuhan itu merupakan inti kodrat
manusia. Kebutuhan peserta didik juga tidak jauh berbeda dengan kebutuhan
manusia pada umumnya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, guru harus
mengenal dan memahami jenis dan tingkat kebutuhan peserta didiknya, sehingga
dapat membantu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan berbagai aktivitas kependidikan,
terutama aktivitas pembelajaran. Dengan mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta
didik, guru dapat memberikan pelajaran setepat mungkin sesuai dengan kebutuhan
peserta didiknya. Mengutip
pernyataan Paulo Freire yang menyatakan bahwa, sejatinya pendidikan adalah
proses pemanusiaan manusia. Pendidikan idealnya harus membantu peserta didik
tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan
berpengaruh didalam masyarakatnya, bertanggung jawab, bersifat proaktif dan
kooperatif serta mengembangkan potensi yang ada.
Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong peserta didiknya untuk
mencapai keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan penghargaan
atas prestasi yang tinggi, memberikan penghargaan atas prestasi yang mereka
capai, betapapun kecilnya, baik berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan
non-verbal. Penghargaan yang tulus dari seorang guru akan menumbuhkan perasaan
sukses dalam diri peserta didik serta dapat mengembangkan sikap dan motivasi
tinggi untuk berusaha mencapai kesuksesan. Kalau terdapat peserta didik yang
gagal tetap perlu diberi penghargaan atas segala kemauan, semangat dan
keberanian dalam melakukan suatu aktivitas. Guru harus menghindari
komentar-komentar yang bernada negatif dan menampakkan sikap tidak puas
terhadap peserta didik yang gagal. Komentar-komentar negatif atau sikap tidak
puas akan membuat peserta didik kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak
berharga dan putus asa (Paulo Freire,
2008).
Belajar bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan, seperti konsep
pendidikan gaya bank dimana pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Ruang gerak yang disediakan bagi
murid hanya sebatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Menurut Paulo Freire,
menganggap bodoh secara mutlak orang lain, sebuah ciri dari ideologi
penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai pencarian.
Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang
dilakukan terhadap siswa. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan
oleh siswa. Guru berperan sebagai fasilisator yang menciptakan kondisi dan
situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran
melalui suatu proses belajar. Belajar akan efektif bila siswa diberi peluang
untuk mendiskusikan informasi yang diterima, mengajukan pertanyaan,
mempraktikkan dan mengajarkannya kepada siswa lain. Siswa berperan sebagai
pelaku utama (student center) yang
memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri (Hamruni, 2009).
Pendekatan berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih holistik dimana belajar
difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu mengembangkan potensi peserta
didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu pengembangan kurikulum lebih
menekankan pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai
tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan
pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta
didik.
Pendidik merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya
terhadap proses dan hasil belajar, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya
peserta didik dalam belajar. Demikian pula halnya dalam model pengembangan
kurikulum pendidikan yang menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam
membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran harus
sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator
yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate
learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam
suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, berani
mengemukakan pendapat secara terbuka dan lainnya.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup
konsep belajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan oleh Rogers (pakar teori
humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati,
penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan pendekatan pembelajaran
yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai fasilitator mempunyai
beberapa ciri-ciri sebagai berikut (1) Merespon perasaan siswa (2) Menggunakan
ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang (3) Berdialog
dan berdiskusi dengan siswa (4) Menghargai siswa (5) Kesesuaian antara perilaku
dan perbuatan (5) Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk
menetapkan kebutuhan segera dari siswa) (6) Tersenyum pada siswa dan tidak
terbawa emosi. (Harper&Row, 1999)
Hal ini menjadi modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai
kemungkinan, dan memasuki kehidupan yang penuh tantangan dan persaingan. Inilah
esensi humanisme dalam implementasi model pengembangan kurikulum pendidikan
yang didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk
menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
C. Kesimpulan
Seorang pendidik harus menguasai kurikulum
dan konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogik atau ilmu dan seni mengajar
materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada
diri peserta didik. Aliran-aliran filsafat pendidikan memberikan kontribusi
yang komprehensif dalam pengembangan kurikulum pendidikan islam.
1.
Aliran
filsafat pendidikan dalam model pengembangan kurikulum
pendidikan islam aliran Progresivisme ini menghendaki lembaga
pendidikan memiliki model pengembangan kurikulum pendidikan
islam yang bersifat
fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait dengan doktrin-doktrin tertentu,
bersifat terbuka, memilki relevansi dengan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum pendidikan islam. Aliran filasafat konstruktivisme; guru tidak lagi
menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber
belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi
siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
2.
Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan
yang belum diketahui sebagai zone of
proximal development of knowledge. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak
lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang
memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana
guru mengajar.
3.
Aliran
filsafat Humanisme memandang
manusia, yang dalam hal ini peserta didik sebagai mahluk yang memiliki potensi
dan memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut. Manusia pada
hakikatnya tidak lepas dari pendidikan. Manusia akan senantiasa berhubungan
dengan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Jika ditinjau dari sisi
pedagogis, manusia merupakan mahluk pembelajar, dan pada hakikatnya manusia
juga mahluk yang dapat mendidik dan dididik. Atas dasar potensi pedagogis yang
dimiliki oleh manusia inilah pendidikan selayaknya diarahkan pada proses pemanusiaan
manusia, agar pendidikan dilakukan dengan bermakna. Kurikulum dan guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap proses belajar mengaja dan hasil belajar, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta
didik dalam belajar. Dalam kurikulum Pendekatan berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih
holistik dimana belajar difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu
mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
C. DAFTAR PUSTAKA
1.
Athiyah,
al-Abrasyi, Muhammad, al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa-Falsafatuha, Mesir: Isa al-Ababi al-Halabi wa syirkahu, 1975.
2.
Al-Syaibany,
Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
3.
Abdullah,
M. Amin, Pendidikan Islam dalam Peradaban
Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997.
4.
Agama
RI, Departemen, Undang-undang Sisdiknas
Tahun 2003, Jakarta: Depag 2003.
5.
Ahwani,
Ahmad Fuad, Al-tarbiyah fi Al-Islam,
Kairo: Dar’al Ma’arif, 1980.
6.
Akhmad
Sudrajat, M.Pd. Kurikulum dan
Pembelajaran Dalam Paradigma Baru, Yogyakarta: Paramitra Publishing, 2001.
7.
Abdullah
Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007.
8.
Arifin,
H.M, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1989.
9.
Bloom,
Bejamin S, Taxonomy of Education
Objektibves, the Classification of Aducational Goals Handbook I: Cognive Domain,
New York: David McKAY Company, INC, 1974.
10.
Badaruddin,
Kemas, Filsafat Pendidikan Islam-Analisis
Pemikiran Syeh Muhammad al-Naquib al-Attas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
11.
Buchori,
Mochtar. Ilmu Pendidikan dan Pratek
Pendidikan dalam renungan, Yogyakarta: Tiara wacana Kerjasama dengan IKIP
Muhammadiyah Jakarta Press, 1994
12. Carl Rogers, (1977),Freedom To Learn, (Columbus, Ohio: Merrill, 1969), dalam
C.H. Patterson, Foundation for a Theory of Instructional and Educational
Psychology.
13.
Davis,
R.B. (1990) Discovery Learning and
Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of
Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics
Educations. Monograph Number 4. The National Council of Teacher of Mathematics.
14. Gasong, Dina.
Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative
Mengatasi Masalah Pembelajaran. Diakses pada tanggal 2 oktober 2016 dari http://www.images.dani7bd.
multiply.com.
15.
Hamruni, (2009),Edutainment Dalam Pendidikan Islam dan Teori-teori
Pembelajaran Quantum (Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
16.
Hilda
Taba. Curriculum Develoment, Theory and
Prative; Fondation Process, Desgn and Stratedy For Planning Both Primary and
Secondary. New York: Harcourt, Brace & World Inc 1965
17. Inkeles, Alex what is
socsiologi: An Introcdution to The
Diclipliner and Profession Fundation of Modern Sosiologi series, New
Jersey: Englewood Cliffs, 1964.
18. Jalal, Abdul, Fatah, Azas-azas Pendidikan
Islam, terj. Herry Noger Ali, Bandung: Diponegoro, 1988.
19. Jhon Wiles dan A. Djaja
Janjuri, Curriculum Development A Guide to Practive. Ohia Merryi Publishing
Company, 1989
20. Jawad, Rida, Muhammad, al-Fikr al-Tarbawi
al-Islam, Kuwait: Dar al-fikr al-Arabi, 1980.
21.
Suparno,
P. (2008). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta:
Kanisius.
22.
Sugiyono, (2006),Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan
Kualitatif, Kualitatif R&D,
Bandung: Alfabeta.
23.
Moleong,
lexy,J, (1999)
Methodologi
Penelitian Kualitatif Jakarta:
Remaja Rosda Karya.
24. Tilaar, H.A.R, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik
Trasformatif Untuk Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2009.
25. Tyler, Ralp, Basic Principles of Currilum and Intruction,
London: The University of Chicago Press, 1949.
26. Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Pratek Pendidikan Islam Syaeh
M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan 2003.
Komentar
Posting Komentar